Monday, June 1, 2009

...(keluarga) Penjaga Negara yang Tergusur...

Beberapa hari ini banyak sekali berita tentang keributan dalam rangka penggusuran penghuni rumah dinas tentara. Terus terang, aku nggak begitu 'paham' tentang prosedur penempatan tentara di rumah dinas, termasuk juga aturan berapa lama bisa menempati rumah dinas tersebut, apa saja aturan2 yg harus diikuti, kapan harus meninggalkan rumah dinas, dll.
Miris sih liat berita2 itu. ada yang udah tua...janda (suaminya tg prajurit dah gak ada), dan gak punya rumah. pas disuruh pindah cuma bisa nangis, gak tau mesti pindah kemana.
Tapi ada juga yang rumah dinasnya sudah 'berpindah kepemilikan' (?) entah ini maksudnya rumah dinas tsb dijual atau sekedar dikontrak-kan. Kalo kayak gini kan salah juga. rumah dinas malah dikontrakin, 'tentara'nya sendiri entah dah pensiun dan pindah di rumah lain, atau memang sdh meninggal, dan rumah dinas trus dijadikan bisnis kontrakan sama keluarganya.

Sementara itu, ada banyak tentara yg masih aktif dan tidak punya tempat tinggal sendiri. mereka ini yg butuh rumah dinas. mau bikin rumah dinas baru mungkin blm ada anggaran pemerintah untuk itu ya. Serba salah.

Apakah tidak (atau belum) ada tata aturan yang jelas ttg 'rumah dinas' ini ya? aturan yg bisa dijadikan dasar hukum? misalnya pengaturan siapa2 aja yang berhak tinggal di rumah dinas, jangka waktu menempati rumah dinas, kewajiban/ aturan2 (misalnya rumah dinas gak boleh dikontrak-kan dsb).

Sebenernya bukan cuma rumah dinas tentara aja yg 'bermasalah' begini. di lingkungan kampus sendiri ada rumah dinas dosen yang --nyuwun sewu-- sudah banyak beralih fungsi jadi kos-kosan. Dosen yg punya jatah menempati rumah dinas tersebut juga rata2 sudah almarhum atau sudah pensiun. dan rumah dinas (yg jadi bisnis kos2an) ini jadi bisnis buat anak-cucu mereka. menyedihkan juga kalo dipikir, karena ada banyak dosen aktif yg masih blm punya tempat tinggal, ngontrak, dan akan sangat terbantu kalo mereka bisa menempati rumah dinas. Tapi ya itu tadi, tdk ada aturan (atau aku sj yg tdk tau) yg jelas2 mengatur penempatan rumah dinas ini.

Ya, mudah2an bisa jadi pelajaran dan pertimbagan buat pengelola kebijakan, baik di tingkat universitas, juga di pemerintahan. jangan sampai terjadi kericuhan atas sesuatu yang sebenarnya merupakan 'hak hidup' warga negara, apalagi yg keluarganya (bapak, suami) yg meninggal dalam tugas membela negara. semoga Indonesia jadi lebih baik ^___^

.

Tuesday, May 26, 2009

being critical and responding to critics

A memo arrived on my table this morning. It said that, with my colleague, I was asked to see one of the bosses to discuss a letter from a student. It should be a very normal thing to do in an educational institution like this. what makes it extraordinary is the 'sense' that the bosses, and so does my colleague, are angry, can't accept the content of letter proposed by the student. I can't really see the problem with the student's letter. it was just okay for me. he came to me and asked me to check the letter before he submitted it to the faculty management board. and I said it was okay.

What's written on the student's letter was just an explanation on his condition related with one of the faculty's policies. this certain policy affected his overall grade of his study at this faculty. he was just outlining his problems (how the policy affected him), and finally asked for a revision/ consideration on a new policy. There is indeed a new policy applied, and it should affect the students directly without any need to submit a letter of request. well, I can't really state the the policy and the content of the letter explicitly here, it is kind of confidential issue.
My point is why should the faculty management board (and also my colleague) respond to the student's letter in a negative atmosphere. I should say 'negative' since they respond it in a manner very closed to 'angry'... (you know, there were two exclamations on the memo I received :D)

Well, there is indeed a 'complaint' in the student's letter. he was expressing his disappointment on the faculty's changing policy, and on how the policy affected his future (in further study opportunity and also in the job competition). It is truly understandable, and I can't see anything wrong with that. If you are disappointed with a policy that affects you and you express your disappointment (in a letter, not by doing vandalism, you know :D) that was totally acceptable, right?


I don't know, may be it was just my 'impoliteness' that causes me to perceive the letter as 'okay' while my colleague and the bosses regard the letter as 'not polite'...
In my opinion, we do have the right to express our thoughts: complaint, appraisal, queries, suggestions, ideas, or else. on the other hand, we should also be open to critics...if someone's complaining on our performance, then there probably is something that we need to work on, to improve, to be better. even if the critics hurt.

Being critical and responding to critics are the arts of life. but I know, many don't agree with this. especially for those whose principal of life is just 'being nrimo'; a principal like 'as someone on the lower position, what we can do is just accept and do what the upper level tell us to do'...It was just weird for me.


Tuesday, May 19, 2009

dipileeh...dipileeh...

Masih terkait soal 'Pemilihan'...Pileg dah lewat, sekarang pilpres.

Beberapa hari ini media massa penuh dengan diskusi, debat, dan 'kampanye terselubung' baik dari capres-cawapres maupun pendukung/ penentangnya. Salah satu yang --menurutku-- paling menyolok adalah diskusi tentang cawapres "Boediono". Mulai dari 'desas-desus' bahwa SBY akhirnya memilih cawapres-nya dari non-partai yang menimbulkan banyak komentar pro-kontra, obrolan tentang kemungkinan bubarnya koalisi dan perpecahan di dalam partai antara yg mendukung dan tidak mendukung pilihan cawapres-nya SBY, dll.

Salah satu poin yang membuat tanganku gatal untuk menulis adalah munculnya berbagai komen, kritik, dan ulasan tentang Pak Boediono, cawapres dari non-partai yang akhirnya dipilih oleh SBY.
Komentar dan kritik paling banyak adalah bahwa Pak Boed ini penganut (bahkan ada yg bilang 'fanatik') aliran ekonomi "neo-liberal", antek IMF, tidak pro-rakyat...dan ujung2nya tidak 'pantes' jadi cawapres.

Well...aku tidak paham banyak tentang ilmu ekonomi, tidak suka juga dengan intrik2 dunia politik.
Aku tidak kenal Pak Boediono secara pribadi, cuma tau pak Boed waktu dulu (semasa masih jadi menteri) masih sesekali mengajar di Fakultas (tempat aku bekerja). Yang terekam di ingatanku adalah Pak Boed yang sangat-sangat sederhana ---untuk ukuran seorang pejabat sekelas menteri---. Dengan sedan tua warna merah, pak Boed masih sesekali mengajar di FE. Sama sekali tidak tampak seperti seorang "menteri" yang biasanya terkesan "mentereng".

Memang benar, tampak luar yang 'sederhana' ini tidak bisa menjadi dasar acuan untuk menilai bahwa Pak Boed ini ekonom yg pro atau tidak pro ekonomi kerakyatan atau neoliberalisme.
Lagipula, aku tidak yakin dari sekian banyak orang yang protes tentang "pak Boed yg neo-liberal" itu adalah mereka yang benar2 paham tentang permazhaban sistem perkonomian yg ada (aku termasuk yang hanya tau 'neoliberalisme' sebatas paham ekonomi --bisa juga politik-- yang menolak/ mengurangi campur tangan pemerintah).
Dan seperti semua paham yang ada, neoliberal ini juga punya sisi baik dan buruk (tergantung dari sisi mana kita menempatkan diri dan memandang mazhab tersebut). Baiknya mungkin bisa memacu kreatifitas dan kompetisi pelaku perekonomian. Buruknya mungkin kalo "kebablasan bebas" akan ada pihak2 yang sama sekali tidak mampu mengikuti kompetisi yang ada.

Dan menjawab kritik ini, Pak Boed dalam beberapa wawancara kemarin menyebutkan "perlu kontrol yang tegas dan benar dari pemerintah" (dalam menghadapi pasar bebas yang mau-tidak-mau memang menjadi suatu kondisi yang harus dihadapi oleh semua negara, termasuk kita di Indonesia).

Nggak berpanjang2 membahas masalah neo-liberal yang bukan bidangku (salah-salah malah aku nanti menulis hal2 yang keliru :D), back to my reason of writing this post:

Yang bikin aku salut dengan kesediaan pak Boed untuk dicalonkan jadi cawapres adalah: pertama, Pak Boed tidak mewakili partai tertentu: partai2 yang ada, yang aku lihat, lebih banyak mementingkan jabatan, bagi2 kekuasaan, membesarkan partai...urusan "membela kepentingan rakyat" entah ada di urutan keberapanya. Kalo memang mau "berbuat baik" demi bangsa dan negara kan tidak harus dengan jadi caleg, capres-cawapres, atau jabatan tertentu. Ini opiniku.

Kedua, kalo lihat gaji gubernur BI yang --geleng2.mode.on-- 165jt/bulan, dan gaji wapres yg "hanya" 49jt/bulan...aku pikir pak Boed bukannya mau
cari duit kan dengan jadi cawapres. Ketiga, kalo memang kita tidak suka dengan salah satu kandidat capres-cawapres, kan tinggal pilih pasangan capres-cawapres yg lain...gak usah menjelek2an salah satu pasangan-kandidat tertentu. Again, this is just my humble opinion...

We never know what's inside other people's head ^___^

Wednesday, March 25, 2009

MUI memvonisku "haram" ...

Tulisan ini muncul karena aku bete dengan suasana deket2 pemilu ini. di jalan2, di channel2 tivi...penuh kampanye pemilu. saling cela antar partai...pelanggaran ini-itu...Bosan liat beritanya. Sejauh yang aku lihat dan pahami...amat-sangat-sedikit-sekali orang yg mau masuk ke jajaran legislatif, eksekutif, atau yudikatif dengan motivasi yang benar2 mau membangun bangsa dan negara ini. they're after the power and money..motivasi nyari kekuasaan dan kekayaan...

Bukan sembarang nuduh, ada caleg (which i know personally) yg jelas2 menceritakan bahwa dia bayar sekian puluh juta untuk daftar jadi caleg, sampe menjual tanah, kebun dan sawah. Tapi dia bilang: nyantai aja, kalo lolos ntar, gak sampai setahun juga udah bisa balik lebih dari itu (lebih dari modal ndaftar calegnya kemarin: red)... hhhh...miris dengernya...


Dari dulu, aku gak seneng dengen yg namanya politik, pemilu, kampanye dan yg berkaitan dg itu. Gak tau kenapa, menurut bayangkanku kegiatan2 itu isinya tipa-tipu mulu... bohong sana-sini... makanya aku gak pernah mau ikut milih. aku selalu golput... menurutku kita bisa berbuat baik tanpa harus "milih". just do good deeds for your neighborhood, environment, to people you know, or in business you do. aku sih percaya secara tidak langsung, berbuat baik --walopun dalam ukuran yg sangat kecil-- misal bergaul baik dengan tetangga, saling bantu saling hormat, jaga/ tidak merusak fasilitas umum, atau hal-hal kecil lainnya itu lebih bermanfaat ketimbang kampanye dan pemilu.

Yup...aku selalu masuk di "Golongan Putih". selama ini aku gak pernah pusing orang2 bilang "rugi lo nggak milih...satu suara itu bisa ikut menentukan lho"..welll, memang, satu suara bisa berperan, tapi kalo ujungnya yg kita pilih malah bawa celaka buat masyarakat, bangsa dan negara??? kita kan juga jd ikut andil menentukan...

So, i stay on my own choice...golput.

Tapi sekarang, ada fatwa MUI bahwa golput itu haram...ada-ada aja... Alquran juz berapa yg bilang gol-put itu haram ya? Berlebihan kayaknya kalo urusan golput ini ikut2an diharamkan oleh MUI...sekalipun mereka bilang haram ya terserah, buatku golput is the choice.
Yang menentukan aku haram atau tidak kan Allah SWT. insyaallah...